Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
RSS

Kisah dari Kolong Langit yang Merah

Tarlen Handayani dan Iman Hidayat

Lama sudah beta tidak berjumpa dengan kau.
Sekarang telah menjadi lautan api.
Mari Bung, rebut kembali


Sebagai sebuah peristiwa bersejarah, Bandung Lautan Api tidak banyak ditulis di buku-buku. Padahal, pembakaran kota Bandung yang berlangsung pada 24 Maret 1946 itu telah memicu Konferensi Meja Bundar yang berujung pada pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.

Salah satu buku yang mengulas pentingnya Bandung Lautan Api berjudul “Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan”. Buku setebal 164 halaman terbit pada Maret 2002, dan mendapat kata pengantar dari saksi sekaligus pelaku BLA, Jenderal AH Nasution.

Buku yang ditulis oleh Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Rustadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo, dan penyelia Soewarno Darsoprajitno ini berisi kesaksian para tokoh pelaku dan saksi peristiwa. Seperti apa sebenarnya peristiwa yang memerahkan langit Bandung itu? Simak ringkasannya:

Akisah, Komandan Divisi III (cikal bakal Kodam III Siliwangi) Kolonel AH Nasution bersama Komandemen I Jabar Mayjen Didi Kartasasmita dan Mr Syarifuddin Prawiranegara berangkat ke Jakarta untuk menghadap PM Sutan Sjahrir. Mereka hendak mengabarkan hasil perundingan dengan petinggi Inggris, bahwa Tentara Keamanan Rakyat (TKR) harus meninggalkan Bandung pada 17 Maret 1946.

Maka PM Sjahril mengutus Nasution, Didi, dan Syarifuddin untuk berunding dengan Inggris membahas pembatalan atau pengunduran ultimatum. Tetapi Inggris — yang datang ke Indonesia guna mengawal transisi kekuasaan dari Jepang ke Belanda — bersikukuh.

Selanjutnya para petinggi Tentara Rakyat Indonesia (TRI) mengadakan rapat di Markas Divisi III TKR pada 24 Maret 1946 pagi. Rapat berlangsung alot dan emosional. Para petinggi TKR terbelah antara menyerahkan Bandung begitu saja atau mempertahankan Bandung dengan melawan Inggris dan NICA.

Akhirnya rapat memutuskan untuk menaati keputusan pemerintah. TRI akan mundur, mengungsi bersama rakyat, tetapi sekaligus menghanguskan Bandung.

Melalui siaran radio pada 24 Maret 1946 siang, sebuah pengumuman disebarkan. Isinya, bahwa semua pegawai dan rakyat harus meninggalkan Bandung sebelum tengah malam. Tentara membakar semua bangunan yang ada, sesudah matahari terbenam.

Rencana awal, pembakaran akan dilakukan tepat tengah malam dengan satu ledakan pertama di Gedung Indische Restaurant (sekarang Gedung BRI). Desas-desus bahwa Bandung akan dibakar dan penduduknya harus mengungsi segera menyebar. Namun informasi yang mereka masih sumir — mereka harus mengungsi, atau ikut membakar rumah sendiri?

Para pejuang yang bertugas membakar Bandung sudah siap dengan bahan peledak, bom molotov, minyak tanah dan bensin. Mereka diperintahkan hanya meledakkan gedung-gedung yang dianggap vital dan mungkin digunakan Belanda. Sedangkan rumah-rumah warga tidak harus dibakar.

Namun pembakaran tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Salah seorang pejuang, Endang Karmas mendapat perintah pembakaran dimulai pukul 22.00. Sementara TRI menjadwalkan peledakan pukul 24.00. Namun di tengah persiapan, tiba-tiba terjadi ledakan, pada pukul 20.00.

Ledakan pertama ini terlanjur dianggap sebagai aba-aba oleh para pejuang lain. Maka peledakan dan pembakaran (yang persiapannya belum maksimal) pun dimulai. Tak heran karena persiapan yang kurang, banyak gedung vital yang tidak bisa diledakkan.

Sejak siang hingga malam secara bergelombang 100 ribu hingga 200 ribu warga Bandung meninggalkan kampung halaman mereka. Sebagian besar bergerak dari daerah selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer (melewati Sungai Citarum). Ada juga yang yang bergerak dari utara, barat dan timur.

Jalan raya besar seperti Regentsweg (kini Dewi Sartika), Jalan Raya Banjaran (Muhammad Toha), Jalan Kopo, dan Jalan Buahbatu menjadi jalan utama yang digunakan pengungsi. Sebagian pengungsi ada yang melalui Cigereleng, Jalan Raya Banjaran, Menuju Dayeuhkolot. Gelombang pengungsian makin besar saat matahari tenggelam.

Api terus berkobar sepanjang malam. Para pengungsi yang sudah tiba di Majalaya sempat memandangi langit Bandung yang memerah.

“...Saya tidak melihat suasana kota saat itu, hanya melihat api berkobar dari Majalaya. Langit di Kota Bandung tampak merah, betul jadi merah itu sekitar jam 24.00 sampai subuh,” kata Mashudi, 24 Januari 1997, sebagaimana tercatat di buku “Saya Pilih Mengungsi”.

“...Ketika sudah sampai di Banjaran, kita lihat langit Kota Bandung sudah merah. Kebanyakan mungkin di sekitar stasiun dan markas-markas tentara lah,” (Amalia Sumarsono, 9 Maret 1997).

Hampir semua warga Tionghoa tidak ikut mengungsi dan justru pergi ke utara untuk bergabung dengan Belanda. Sebagian besar etnik Cina berhasil dibujuk. Sebagian lagi dipersenjatai dan bergabung dalam pasukan Po An Tui, warga Cina yang dipersenjatai dan digunakan Belanda untuk meneror pribumi. Taktik adu domba berhasil menimbulkan antipati warga pribumi terhadap Cina.

Pada saat pengungsian pun diwarnai penjarahan terhadap rumah-rumah penduduk oleh NICA yang dibantu Po An Tui. Sedangkan masyarakat Cina yang ada di selatan lari ke arah utara untuk meminta perlindungan NICA dan Inggris. “Penduduk hampir semua mengungsi, kecuali orang-orang Cina....” (R.H. Lily Sumantri, 5 Juni 1997).

Di pengungsian, warga Bandung hidup dalam penderitaan. Mereka berbagi makan seadanya, tinggal di rumah saudara atau orang lain. Sebagian pengungsi tidak berhenti hanya di selatan Bandung, tetapi ada yang terus ke Tasikmalaya, Garut, hingga Yogyakarta.

Sementara TRI yang dipimpin Kolonel Nasution mengatur siasat untuk menyerang Inggris dan Belanda-NICA dengan gerilya. “Jadi setelah kita bakar, kita membikin rapat-rapat di Bandung Selatan. Bagaimana meningkatkan serangan-serangan gerilya itu.”

Pada periode inilah lahir lagu “Halo Halo Bandung”, yang liriknya Anda baca di awal tulisan ini.
sumber:http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/kisah-dari-kolong-langit-yang-merah-083816112.html

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar