Raden Ema Goerjama
Tarlen Handayani dan Adim
Ahad
24 Maret 1946 menjadi saat-saat terakhir bagi Raden Ema Goerjama
berkumpul dengan keluarga. Mereka berpisah dan tidak pernah berkumpul
lagi gara-gara Bandung Lautan Api.
Lelaki kelahiran 13 April
1925 itu masih bisa mengingat Bandung yang terbelah dua. Sisi utara
ditempati tentara sekutu, Nederlands Indies Civil Administration (NICA),
penduduk sipil asing, dan sebagian orang Cina. Sementara itu bagian
selatan ditempati penduduk pribumi dan TRI (Tentara Republik Indonesia).
“Pembatasnya rel kereta api,” kata Goerjama yang bekerja di
Posts Telegraafend Telefoon Dienst atau Jawatan Pos, Telegraf, dan
Telepon (PTT).
Karena merasa tugasnya melucuti senjata dan
memulangkan tentara Jepang terganggu, pasukan Inggris memaksa Tentara
Republik Indonesia dan pemerintahan sipil Kota Bandung untuk mundur ke
sebelah selatan.
Ultimatum pertama tidak digubris. Lantas
serdadu Inggris mengeluarkan ultimatum keduanya, pasukan besenjata
Indonesia harus keluar dari kota. Komandan Divisi III Tentara Republik
Indonesia, Kolonel Abdul Haris Nasution, sempat dipanggil ke Jakarta
oleh Perdana Menteri Sjahrir membicarakan masalah itu.
Sepulang
dari Jakarta, tanggal 24 Maret 1946, Nasution mengantongi perintah
evakuasi dari Sjahrir. Keputusan ini untuk memperkuat diplomasi dengan
Belanda guna meraih pengakuan internasional terhadap Republik Indonesia.
Pukul
14:00 WIB, Nasution memberikan instruksi agar semua pegawai dan rakyat
harus keluar kota sebelum tengah malam. Selain itu, seluruh bangunan
yang ada harus dihanguskan agar tidak dimanfaatkan pasukan musuh.
Nasution
juga memerintahkan agar saat matahari terbenam, para pejuang menyerang
musuh yang ada di sisi utara rel kereta api. Goerjama yang tergabung
dalam Angkatan Muda PTT mematuhi instruksi itu.
Perintah
pengosongan kantor-kantor itu sebenarnya sudah ia terima dari tentara
Inggris beberapa hari sebelumnya. Bersama rekan-rekannya, dia sempat
memindahkan barang seperti mesin tik, telepon, dan berkas-berkas di
kantornya. “Semuanya dipindah ke Tasikmalaya,” kata Goerjama.
Sekembalinya
ke Bandung, Goerjama harus menjaga Kantor Pos Besar Bandung di Groote
Postweg atau Jalan Asia-Afrika sekarang. Sedangkan keluarganya sudah
pergi dari Bandung menuju ke Cirebon.
“Saya sempat ikut
mengantar kakak saya mengurus surat untuk keluar kota. Mengurus suratnya
di Landraad (sekarang Gedung Indonesia Menggugat). Ia pergi menjaga
istrinya yang baru melahirkan bayi usia satu minggu,” kenang Goerjama
yang masih bisa membaca tanpa menggunakan kacamata ini.
Perintah
untuk membakar kantor pos itu datang dari seorang sersan. “Bakar, biar
tidak dipakai NICA,” Goerjama menirukan perintah.
Bensin pun
segera diguyurkan ke sekeliling kantor. Belakangan dia baru sadar.
Bangunan itu sebagian besar terbuat dari marmer dan pilar-pilar besi.
“Tegelnya juga malah jadi bersih. Apa yang mau dibakar,” kata dia sambil
terkekeh.
Karena kebingungan, Goerjama dan kawan-kawannya tetap
menunggu perintah di kantor pos. Menjelang sore, sersan yang
memerintahkan pembakaran itu kembali datang. Mendapati gedung yang masih
utuh, sang serdadu hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Mau
bagaimana lagi, memang tidak bisa dibakar. Akhirnya kami disuruh bubar.
Ya sudah kembali ke rumah masing-masing,” tutur lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS). Belakangan diketahui kantor pos itu terbakar
namun hanya bagian atapnya saja yang hancur.
Goerjama, yang
fasih berbahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan Inggris ini, memutuskan
menyusul keluarganya di Cirebon. Dia mengumpulkan pakaian dan
barang-barang dari rumahnya di Jalan Kebon Sereh.
Goerjama
memulai perjalanannya seorang diri. Sebagai langkah awal, dia menuju ke
Jalan Pangeran untuk menumpang di kerabatnya. Dua hari setelah tidak ada
penjagaan, Goerjama mengungsi ke Cirebon. “Caranya yang menumpang truk.
Meski saya tidak bawa uang, tapi orang-orang saling bantu. Modalnya
cuma ini,” Goerjama memperlihatkan jempol kanan.
Setiap dia
berhenti di satu tempat dan mau memulai perjalanannya, jempol itu
diangkatnya. Kalau beruntung, ada truk yang mau mengangkut. Akhirnya,
Goerjama bisa bertemu dengan keluarganya di daerah Pabrik Gula Terasana
Baru, dekat perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.
Namun sayang ia
tak bisa lama di sana. Sejurus Goerjama membaca koran. Ada pengumuman
bahwa pegawai PTT dari kantor pusat harus melapor ke kantor pos
terdekat. Goerjama mendapat surat perintah untuk segera ke Tasikmalaya.
Dia kembali berpisah dengan keluarganya.
Begitu bekerja di
kantor PTT, Goerjama kembali mendapatkan penghasilan. Sial. Kantornya
kena bom, sehingga Goerjama dan kawan-kawannya mengungsi ke Ambarukmo,
Yogyakarta.
Goerjama baru bisa kembali ke Bandung pada tahun
1949. Kepulangannya ke Bandung ini karena ada serangan Belanda yang
membatalkan gencatan senjata dan tidak mengakui hasil Perundingan
Renville pada bulan Desember 1948.
“Karena saya bisa bahasa
Belanda, akhirnya minta agar Belanda tidak menembak. Saya bilang kami
bukan tentara tapi pegawai PTT. Mereka tidak percaya. Akhirnya kami
berikan buku daftar pegawai dan diabsen satu per satu. Keesokan harinya
ada petinggi PTT datang dan membawa kami ke Bandung,” ujar Goerjama.
Sesampainya
di Bandung, Goerjama tidak kembali ke rumahnya. Dia tinggal di asrama
PTT. “Mau apa lagi. Sudah tidak ada siapa-siapa. Rumah juga mungkin
sudah terbakar atau malah ditempati orang lain,” kata Goerjama yang
merintis karier hingga pensiun di PTT yang sekarang dikenal sebagai PT
Pos Indonesia.
Setelah Bandung Lautan Api, Goerjama pun hidup sendiri.
sumber:http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/yang-sendiri-usai-bandung-dilahap-api-085851008.html